مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Blog Wa’ Ajo

Jumat, 24 Oktober 2008

CIPAJANG DAN PORTUGAL

Kisah Pertugal dan Sebuah Ironi

- Orang kecil, berpenghasilan kecil, tetapi bisa berbuat besar untuk desa mereka. Itulah yang dilakukan para anggota Persatuan Tukang Gali (Pertugal). Wadah itu didirikan para perantau dari Desa Cipajang, Brebes, yang bekerja di berbagai bidang di Jakarta. Yang menarik, semua lapangan kerja mereka tergolong kasar, yang biasa dikerjakan kelompok masyarakat kelas bawah. Ada yang bekerja sebagai tukang gali tanah untuk proyek telepon, listrik, pompa air, saluran air, pembangunan jalan, slup fondasi beton bangunan jangkung, dan lain-lain. Ada yang bekerja bukan di bidang pergalian. Misalnya di proyek-proyek bangunan dengan berbagai jenis tukang dan keterampilan. Ada pula tukang kayu, tukang batu, dan pengaduk semen.

- Kita bisa menghitung upah mereka sebagai pekerja kelas bawah. Umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang yang bekerja di instansi pemerintah, lembaga keuangan, atau bisnis lain. Namun yang mengagumkan, para anggota Pertugal mampu membangun balai desa dan kantor kepala desa bernilai Rp 69 juta, masjid bernilai miliar rupiah, memperbaiki jalan desa, jalan lingkungan, dan lain-lain. Balai desa dua lantai itu konon yang termegah di Kabupaten Brebes. Bangunan itu bisa berdiri dengan biaya relatif sedikit karena warga desa mengerjakan secara sukarela. Mereka tak mengharapkan upah. Mungkin mereka sadar biaya untuk membangun dikumpulkan secara sukarela, hasil cucuran keringat sesama warga desa.

- Situasi Desa Cipajang sangat menarik. Penduduk keseluruhan 5.478 jiwa, yang terdiri atas 2.472 pria dan 2.736 wanita. Kira-kira 80% tenaga kerja desa itu merantau ke Jakarta. Yang tercatat jelas anggota Pertugal 2.000 orang. Lapangan kerja mereka umumnya menyangkut pekerja kasar sebagaimana telah dikemukakan. Yang mengagumkan adalah kebersamaan mereka yang kukuh. Ke-2.000 orang itu terbagi menjadi 50 grup. Jadi setiap grup beranggota 40 orang. Mereka terikat dalam sesanti sederhana, yakni guyub rukun. Itu sesanti populer yang banyak dikenal dalam kehidupan masyarakat kita. Lewat wadah itulah mereka menyisihkan rezeki, mengumpulkan untuk mereka sumbangkan bagi pembangunan desa. Berapa rezeki yang mereka kumpulkan bisa kita bayangkan dari bidang kerja masing-masing.

- Paguyuban semacam itu sudah kita kenal di banyak daerah di provinsi ini. Setiap daerah memiliki ciri dan kekuatan masing-masing. Di daerah tetangga Brebes, Kabupaten Tegal, ada desa yang terkenal karena penduduknya memiliki spesialisasi menjual martabak, mendirikan warung-warung makan yang terkenal dengan akronim ''warteg'', dan lain-lain. Mereka merantau ke berbagai kota besar; Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lain-lain. Di kampung yang ditinggalkan, mereka membangun rumah mewah bergaya modern seperti di Jakarta. Semua dari hasil berjualan makanan spesialisasi masing-masing. Keadaan serupa bisa dilihat di Wonogiri dengan spesialisasi bakso, bakmi jowo, pohung goreng, dan lain-lain. Mereka juga urunan membangun desa.

- Tentang kisah orang-orang sukses dan membantu pembangunan desa tempat kelahiran, sekolah tempat dulu menuntut ilmu, dan lain-lain, sudah banyak kita dengar. Misalnya orang-orang yang berhasil mencapai kedudukan tinggi di pemerintahan dan memiliki rezeki cukup besar, sukses dalam bidang bisnis, pemborong bangunan, percetakan, dan lain-lain. Orang sukses itu menyisihkan sebagian rezeki untuk disumbangkan bagi berbagai pembangunan dan kegiatan sosial sudah makin biasa. Namun para pekerja kecil, yang untuk memperoleh upah beberapa ribu rupiah harus memeras tenaga dan mengucurkan keringat, dengan guyub rukun membangun desa jelas bernuansa lain. Apalagi Cipajang adalah desa terpencil, jauh di kawasan selatan Brebes. Desa kecil, namun warganya memiliki jiwa dan hati besar.

- Hal itu sekaligus mengingatkan kita pada sesuatu yang sangat ironis. Mantan menteri pertahanan Prof Dr Mahfud MD, fungsionaris PKB, baru-baru ini menyatakan hampir seluruh pejabat di negeri ini korupsi. Kita sebenarnya sudah nyaris tak terkejut lagi mendengar pernyataan semacam itu. Kalau tidak begitu, tentulah bangsa ini tidak masuk golongan paling korup di dunia. Bahkan menduduki urutan nomor satu dari 10 negara yang berperingkat koruptor terbesar di dunia. Dalam sebuah forum curah pikir di Semarang, seorang pemuda menyatakan kalau pada awal reformasi sekelompok masyarakat menjarah toko, sekarang dana negara dijarah secara sistematis di lembaga eksekutif dan legislatif. Rakyat kecil menjarah untuk makan, pejabat menjarah uang negara untuk menumpuk harta.
(Sumber : Suara Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar