مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Blog Wa’ Ajo

Kamis, 23 September 2010

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (1)

Sekarang kita telah memasuki bulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram menurut kalender Islam. Terlebih dahulu marilah kita melihat, bagaimanakah penilaian Islam mengenai bulan Suro (bulan Muharram). Semoga Allah memudahkan urusan ini.


Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« …السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »

“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3025)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)

Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475)

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”

Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa. Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Muharram (bulan Suro).

Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro

Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.

Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”

Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.

Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.

Mencela Waktu atau Bulan

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.

Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:

Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam,

هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)

Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.

Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
muslim.or.id

Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (2)

Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu

Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)

Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.

Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.

Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).

Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)

Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.

Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.

Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)

Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)

Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.

Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

Berbagai Ritual di Bulan Suro

Terakhir, kita akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.

Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.

Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”

Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.

Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.

Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)

Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)

Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.

Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.

Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.

Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.

Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H

Referensi:

1. Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
2. Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
3. I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
4. Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
5. Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
6. Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
8. Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
muslim.or.id

Ngalap Berkah

Ngalap berkah atau tabarruk adalah kata yang tidak asing lagi di telinga orang Jawa khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Sebab ditilik dari segi sejarah, kerangka budaya suku-suku di Indonesia memang dilatarbelakangi prinsip animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke nusantara tradisi ini makin marak, karena memang dalam Islam terdapat syariat tabarruk (mencari berkah).

Tetapi masalahnya banyak kaum muslimin yang tidak memahami manakah tabarruk yang sesuai syariat dan manakah tabarruk yang tidak sesuai dengan syariat. Akibatnya banyak kaum muslimin yang berbondong-bondong ke tempat keramat atau orang yang disangka punya berkah seperti kuburan wali, gua, pemandian, pohon, sendang (telaga) dan sebagainya. Kenyataan ini diperburuk dengan ada orang yang dipandang oleh masyarakat sebagai kiai atau ulama kemudian malah menganjurkan. Padahal kalau dilihat seringkali amalan-amalan di tempat tersebut merupakan wajah lain kesyirikan.

Makna Tabarruk

Tabarruk adalah mencari berkah berupa tambahan kebaikan dan pahala dan setiap yang dibutuhkan hamba dalam dunia dan agamanya, dengan benda atau wahyu yang barokah. Tabarruk ini terbagi menjadi dua macam yaitu tabarruk yang syar’i dan yang tidak syar’i.

Tabarruk yang Syar’i dan yang Tidak Syar’i

Tabbaruk dengan sesuatu yang syar’i dan diketahui secara pasti atau ada dalilnya bahwa sesuatu tersebut mendatangkan barokah.

1. Tabarruk dengan perkataan dan perbuatan: membaca Al Quran, berzikir, belajar ilmu agama dan mengajarkannya, makan dengan berjamaah dan menjilati jari sesudah makan.
2. Tabarruk dengan tempat: I’tikaf di masjid, tinggal di Mekkah, Madinah atau Syam.
3. Tabarruk dengan waktu: semangat beribadah di malam Lailatul Qodar, banyak berdoa di waktu sahur.
4. Tabarruk dengan makanan dan minuman: Meminum madu dan air zam-zam, memakai minyak zaitun, mengonsumsi habatussauda’ (jintan hitam).
5. Tabarruk dengan zat Nabi shollalohu ‘alaihi wa sallam: berebut ludahnya, mengambil keringatnya, mengumpulkan rontokan rambutnya ketika beliau masih hidup.

Tabarruk yang tidak syar’i atau terlarang yaitu tabarruk yang tidak ada dalil syar’inya atau tidak mengikuti tuntunan syariat.

1. Tabarruk dengan perkataan dan perbuatan: Sholawat atau zikir yang bid’ah.
2. Tabbaruk dengan tempat: Ziarah religius ke kubur para wali.
3. Tabarruk dengan waktu: menghidupkan malam nisfu sya’ban, mengadakan perayaan maulid nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Quran dan sebangsanya.
4. Tabarruk dengan makanan dan minuman: minum sisa kiai, berebut tumpeng sekaten.
5. Tabarruk dengan benda-benda: mengambil tanah karbala, berebut kotoran “Kyai Slamet”, sabuk supranatural.
6. Tabarruk dengan zat orang sholih atau peninggalannya: meminum ludahnya atau keringatnya, berebut bekas peci atau bajunya, memilih sholat di tempat orang sholih itu sholat, meminum atau menyimpan sisa air wudhu’ orang sholih, atau dengan menciumi lututnya.

Mengharap Berkah Kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya Adalah Kesyirikan

Abu Waqid Al-Laitsi menuturkan, Suatu saat kami pergi keluar bersama Rosululloh sholallahu alaihi wa sallam ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja masuk Islam. Kemudian kami melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang dinamakan Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu untuk mencari berkah. Kami pun berkata: “Ya Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana Dzatu Anwath mereka.” Maka Rosululloh bersabda: “Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Alloh yang diriku hanya berada di Tangan-Nya, ucapan kalian seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana tuhan orang-orang itu.’ Musa menjawab, ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti.’” Beliau bersabda lagi, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu (Yahudi dan Nasrani).” (Hadits shohih, riwayat At-Tirmidzi)

Mereka para sahabat meminta kepada Rosululloh untuk bertabarruk dengan pohon tersebut sebagaimana orang musyrik. Namun jawaban beliau amat keras, beliau malah menyamakan permintaan itu dengan meminta sesembahan selain Alloh, dan ini adalah syirik besar. Namun mereka melakukan itu karena baru saja lepas dari kekufuran dan belum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang. Dan mereka belum melaksanakan permintaan tersebut. Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal-hal yang diperbuat oleh orang-orang yang meyakini bahwa boleh ngalap berkah dari pohon dan bebatuan, wukuf dan menyembelih hewan di tempat tersebut merupakan kesyirikan.

Tidakkah kita lihat bagaimana Umar bin Khottob ketika beliau mencium Hajar Aswad beliau mengatakan, “Sungguh aku tahu bahwa kamu hanyalah sebuah batu, tidak mendatangkan manfaat juga tidak mendatangkan mudhorot. Seandainya aku tidak melihat Rosululloh menciummu maka aku pun tidak akan menciummu.” (Bukhori). Lihatlah kepasrahan Umar terhadap syariat yang ditetapkan ketika beliau mencium Hajar Aswad. Beliau mencium Hajar Aswad karena mencontoh Rosululloh, dan dengan mencontoh Rosululloh inilah didapatkan barokah. Lain halnya dengan beberapa kaum muslimin yang justru malah mengusap baju-baju mereka di Hajar Aswad untuk mencari berkah! Masya Alloh!

Demikianlah, pada prinsipnya, berkah itu hanya kepunyaan Alloh. Dialah yang memberikannya. Sedangkan pribadi-pribadi, benda-benda, tempat-tempat serta waktu-waktu yang dinyatakan banyak mengandung berkah oleh syariat, tidak lain hanyalah sebab semata bagi diperolehnya berkah. Bukan pemilik dan pemberi berkah. Cara mencari berkah melalui hal-hal yang diakui menurut syariat, juga harus mengikuti petunjuk syariat, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah atau syirik. Siapa yang mencari berkah kepada selain Alloh, ia terjerumus ke dalam syirik akbar. Dan siapa yang mencari berkah melalui hal-hal yang dibenarkan menurut syariat, tetapi dengan cara yang berlawanan dengan syariat, ia terjerumus dalam bid’ah. Na’udzu billah min Dzalik. Wa Nas’alullah Al ‘afiyah.

***

Penulis: Abu Hasan R. Saputra (Alumni Ma’had ilmi)
muslim.or.id

Ngalap Berkah Kebo Kyai Slamet

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapat taufik Allah Ta’ala. Pada hari yang dikatakan sakral oleh sebagian kaum muslimin, terdapat suatu kenyataan yang sangat memilukan yang menunjukkan kekurangan akal. Hari tersebut adalah tanggal siji suro (1 Muharram). Sebagian kaum muslimin yang selalu menginginkan kemudahan dalam hidupnya dan ingin mencari kebaikan malah mencarinya dengan cara yang tidak masuk akal. Mereka mencari berkah dari seekor kerbau (kebo bule) yang disebut dengan ‘Kyai Slamet’, yakni mereka saling berebut untuk mendapatkan kotoran kerbau tersebut, lalu menyimpannya, seraya berkeyakinan rizki akan lancar dan usaha akan berhasil dengan sebab kotoran tersebut. Seorang yang punya akal sehat tentu tidak mungkin melakukan hal yang demikian. Tetapi kok mereka bisa melakukan hal yang demikian?! Ke mana akal sehat mereka?!!


Itulah tabaruk (baca: mencari berkah atau ‘ngalap berkah’), mereka melakukan yang demikian untuk mendapatkan berkah dari kotoran tersebut. Maka perhatikanlah pembahasan kali ini, agar kaum muslimin sekalian dapat mengetahui manakah cara mencari berkah yang dibenarkan dan manakah yang dilarang oleh agama ini.

Keberkahan Hanya dari Allah

Mencari berkah atau tabaruk adalah meminta kebaikan yang banyak dan meminta tetapnya kebaikan tersebut. Dalam Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwasanya keberkahan hanya berasal dari Allah semata dan tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memberikan keberkahan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah yang memberikan berkah, telah menurunkan Al Furqaan (yaitu Al Qur’an) kepada hamba-Nya.” (Qs. Al Furqon: 1), yaitu menunjukkan banyaknya dan tetapnya kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-Nya berupa Al Qur’an. Allah juga berfirman yang artinya, “Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.” (Qs. Ash Shofaat: 113). “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.” (Qs. Maryam: 31). Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya yang memberikan berkah hanyalah Allah. Maka tidak boleh seseorang mengatakan, ‘Saya memberikan berkah pada perbuatan kalian, sehingga perbuatan tersebut lancar’. Karena berkah, banyaknya kebaikan, dan kelanggengan kebaikan hanya Allah yang mampu memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Berkah yang Tidak Bisa Berpindah Secara Dzat

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa sesuatu yang Allah halalkan sebagai berkah ada 2 macam yaitu (1) berkah dari tempat dan waktu, dan (2) berkah dari zat manusia.

Berkah yang pertama ini seperti yang Allah berikan pada Baitul Haram (ka’bah) dan sekeliling Baitul Maqdis. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Qs. Al Isro’: 1). Maksud dari memberkahi tempat tersebut adalah memberikan kebaikan yang banyak dan terus menerus di tempat tersebut, sehingga para hamba-Nya senantiasa ingin dan senang berdo’a di tempat tersebut, untuk memperoleh berkah di dalamnya. Ini bukan berarti -seperti anggapan sebagian kaum muslimin- bahwa seseorang boleh mengusap-ngusap bagian masjid tersebut (seperti dinding) untuk mendapatkan berkah yang banyak. Karena berkah dari masjid tersebut bukanlah berkah secara dzatnya, tetapi keberkahannya adalah secara maknawi saja, yaitu keberkahan yang Allah himpun pada bangunan ini yaitu dengan mendatanginya, thowaf di sekeliling ka’bah, dan beribadah di dalamnya yang pahalanya lebih banyak daripada beribadah di masjid lainnya. Begitu juga hajar aswad, keberkahannya adalah dengan maksud ibadah, yaitu seseorang menciumnya atau melambaikan tangan kepadanya karena mentaati dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkah yang dia peroleh adalah berkah karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu ‘anhu telah mengatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu biasa, tidak dapat memberikan manfaat, begitu juga tidak dapat mendatangkan bahaya.” (HR. Bukhari). Maksudnya, hajar aswad tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan bahaya kepada seseorang sedikit pun. Sesungguhnya hal ini dilakukan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Dan aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku juga menciummu.”

Adapun mendapatkan berkah dari waktu adalah seperti pada bulan Ramadhan. Bulan tersebut disebut dengan bulan yang penuh berkah (banyak kebaikan). Seperti di dalamnya terdapat malam lailatul qodar yaitu barangsiapa yang beribadah pada malam tersebut maka dia seperti beribadah seribu bulan lamanya.

Berkah dari Para Nabi Dapat Berpindah Secara Dzat

Kaum muslimin, berkah jenis kedua ini adalah berkah yang Allah berikan pada orang-orang mukmin dari para Nabi ‘alaihimus salam. Berkah yang terdapat pada mereka adalah berkah secara dzat (dapat berpindah secara dzat). Seluruh bagian tubuh para Nabi mulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, sampai Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah berkah. Di antara kaum Nabi tersebut ada yang mencari berkah dari badan mereka, baik dengan mengusap-ngusap tubuh mereka atau mengambil keringat mereka atau mengambil berkah dari rambut mereka. Semua ini diperbolehkan karena Allah menjadikan tubuh mereka adalah berkah. Sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, badannya adalah berkah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits bahwasanya para sahabat Nabi mengambil berkah dari ludah dan rambut beliau. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut untuk mendapat bekas wudhu beliau.

Berkah secara dzat seperti ini hanya dikhususkan kepada para Nabi ‘alaihimus salam saja dan tidak diperbolehkan bagi selain mereka. Begitu juga para sahabat Nabi sekalipun atau sahabat yang paling mulia dan sudah dijamin masuk surga seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak boleh seorang pun mengambil berkah dari mereka karena hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang lain kepada mereka berdua, sebagaimana mereka mengambil berkah dari rambut dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana Mencari Berkah dari ‘Kebo’ [?]

Sebagian kaum muslimin saat ini ketika menghadapi kesulitan dalam hidupnya, mereka malah mencari berkah dari para kyai. Mereka menyamakan/meng-qiyas-kan hal ini dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh diambil rambut dan keringatnya sebagai suatu keberkahan, maka menurut mereka para kyai juga pantas untuk dimintai berkahnya baik dari ludahnya atau rambutnya. Bahkan ada pula yang mengambil kotoran kyai/gurunya untuk mendapatkan berkah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Tidakkah mereka tahu bahwa mencari berkah secara dzat seperti ini tidak diperbolehkan untuk selain para Nabi?!!

Qiyas (penyamaan hukum) yang mereka lakukan adalah qiyas yang keliru dan jelas-jelas berbeda. Jangankan mencari berkah dari kyai, mencari berkah dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu -sahabat yang mulia, yang keimanannya jika ditimbang akan lebih berat dari keimanan umat ini dan sudah dijamin masuk surga- saja tidak diperbolehkan karena beliau bukan Nabi dan tidak pernah di antara para sahabat yang lain mencari berkah dari beliau radhiyallahu ‘anhu. Apalagi dengan para kyai yang tingkat keimanannya di bawah Abu Bakar dan belum dijamin masuk surga, maka tidaklah pantas seorang pun mengambil berkah darinya.

Maka bagaimana pula dengan mengambil berkah dari kyai -yang tidak punya akal- seperti kerbau ‘Kyai Slamet’?!! Sungguh perbuatan ini tidaklah masuk akal dan tidak mungkin memberikan kebaikan sama sekali, tetapi malah akan menambah dosa. Dosa ini bukan sembarang dosa, namun dosa ini adalah dosa paling besar dari dosa-dosa lainnya yaitu dosa syirik dan Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. An Nisa’: 116)

Tingkat Kesyirikan Tabaruk (Mencari Berkah)

Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah menjelaskan bahwa jika kita memperhatikan apa yang dilakukan oleh para penyembah kubur (yang datang ke kuburan para wali dan beribadah kepadanya, -pen) di zaman kita ini, di negeri-negeri yang di sana tersebar berbagai macam kesyirikan, kita akan mendapati di antara mereka ada yang melakukan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu terhadap laata, ‘uzza, dan dzatu anwat. Para penyembah kubur tersebut duduk-duduk di kuburan atau di sekeliling pagarnya, mereka berada di atas kuburan atau di celah-celah dinding yang mengelilingi kuburan. Mereka berkeyakinan apabila mereka menyentuhnya (dengan tujuan mencari berkah,-pen) seolah-olah mereka menyentuh orang yang berada dalam kuburan tersebut, terhubungkan roh mereka dengannya dan mereka meyakini bahwa orang yang berada di dalam kubur akan menjadi perantara antara mereka dengan Allah. Itulah pengagungan kepada kubur tersebut. Inilah syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam,-pen) karena perkara ini mengandung ketergantungan hati kepada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya serta menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Perbuatan seperti ini adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik dahulu (yang telah dianggap kafir oleh Allah dan Rasul-Nya,-pen). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah yang artinya, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya. “Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Qs. Az Zumar: 3)

Adapun apabila mereka mengusap-ngusap kubur tersebut dan meyakini bahwa kubur tersebut adalah tempat yang penuh berkah dan hanya sebagai sebab mendapatkan berkah. Maka ini adalah syirik ashgor.

(Sebagian pembahasan di atas diambil dari kitab ‘At Tamhid lii Syarhi Kitabit Tauhid’ yang ditulis oleh Menteri Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih Alu Syaikh -semoga Allah menjaga beliau-)

Wahai kaum muslimin, inilah tingkat kesyirikan tabaruk. Seseorang bisa keluar dari Islam disebabkan melakukan perbuatan syirik akbar ini. Maka renungkanlah, apakah perbuatan lain yang merupakan bentuk mencari berkah seperti ‘grebeg mulud’ (tumpukan tumpeng yang saling diperebutkan pada hari ‘maulud Nabi’) termasuk mencari berkah yang disyari’atkan atau tidak. Benarkah tumpeng yang diambil berkahnya tersebut bisa melariskan dagangan, melancarkan rizki seseorang, bisa membuat seseorang mendapatkan jodoh?!!

Semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya. Sesungguhnya Allah menunjuki pada jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
muslim.or.id

Kisah Kyai Yang Taubat

Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”

“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)

“Kita biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)

Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.

Keberanian beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.

Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau.

Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada umumnya.

Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para ulama tanah haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai pewaris para Nabi.

Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.

Walaupun beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.

Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.

Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.

Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.

Inilah fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:

“Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”

(Dinukil dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)

catatan: Note ini ditulis hanya semata-mata sebagai nasehat, bukan karena ada alasan sentimen atau kebencian terhadap sebuah kelompok. Silahkan nukil dan share serta pergunakan untuk kebutuhan dakwah ilalloh.

-Abu Shofiyah Aqil Azizi- jazahullah khairan

muslim.or.id

SYIRIK

Kalau ada seorang penceramah berkata di atas mimbar: “Sungguh perbuatan syirik dan pelanggaran tauhid sering terjadi dan banyak tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan keheranan dan bertanya-tanya: “Benarkah itu sering terjadi? Mana buktinya?”.

Tapi kalau berita ini bersumber dari firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an, masihkah ada yang meragukan kebenarannya? Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}

“Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS Yusuf:106).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan arti ayat ini: “Kalau ditanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka akan menjawab: “Allah (yang menciptakan semua itu)”, (tapi bersamaan dengan itu) mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya)[1].

Semakna dengan ayat di atas Allah Ta’ala juga berfirman,

{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}

“Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS Yusuf:103).

Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka[2].

Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau,

«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ»

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala)”[3].

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya hari kiamat[4].

Hakikat Syirik

Perbuatan syirik adalah menjadikan syarik (sekutu) bagi Allah Ta’ala dalam sifat rububiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala yang khusus bagi-Nya, seperti mencipta, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan uluhiyah-Nya (hak untuk disembah dan diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan syirik (yang terjadi di umat ini) adalah (syirik) dalam sifat uluhiyah-Nya, yaitu dengan berdoa (meminta) kepada selain Allah bersamaan dengan (meminta) kepada-Nya, atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti menyembelih (berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan mencintai[5].

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan hakikat perbuatan syirik yang diperangi oleh semua Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah Ta’ala, beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah. Inilah agama (yang dibawa) para Rasul yang diutus oleh Allah kepada umat manusia.

Rasul yang pertama adalah (nabi) Nuh ‘alaihis salam yang diutus oleh Allah kepada kaumnya ketika mereka bersikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan) orang-orang yang shaleh (di kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr[6].

Rasul yang terakhir (yaitu) nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dialah yang menghancurkan gambar-gambar (patung-patung) orang-orang shaleh tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah kepada kaum (orang-orang musyrik) yang selalu beribadah, berhaji, bersedekah dan banyak berzikir kepada Allah, akan tetapi mereka (berbuat syirik dengan) menjadikan makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allah (dalam beribadah). Mereka mengatakan: “Kami menginginkan dari perantara-perantara makhluk itu untuk mendekatkan diri kepada Allah[7], dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya”[8]. (Perantara-perantara tersebut adalah) seperti para malaikat, nabi Isa bin Maryam, dan orang-orang shaleh lainnya.

Maka Allah mengutus nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbaharui (memurnikan kembali) ajaran agama yang pernah dibawa oleh nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yaitu ajaran tauhid) dan menyerukan kepada mereka bahwa (bentuk) pendekatan diri dan keyakinan (seperti) ini adalah hak Allah yang murni (khusus bagi-Nya) dan tidak boleh diperuntukkan sedikitpun kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau nabi utusan-Nya, apalagi yang selainnya”[9].

Contoh-Contoh Perbuatan Syirik yang Banyak Terjadi Di Masyarakat

Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, bahkan perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang di jaman Jahiliyah, sebelum datangnya Islam, masih juga sering terjadi di jaman modern ini.

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Perbuatan syirik yang terjadi di jaman Jahiliyah (juga) terjadi pada (jaman) sekarang ini:

1- Dulunya orang-orang musyrik (di jaman Jahiliyah) meyakini bahwa Allah Dialah Yang Maha Pencipta dan Pemberi rizki (bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan itu) mereka berdoa (meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh dan dekat kepada Allah Ta’ala) dalam bentuk berhala-berhala, sebagai perantara untuk (semakin) mendekatkan mereka kepada Allah (menurut persangkaan sesat mereka). Maka Allah tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa) tersebut, bahkan Allah menyatakan kekafiran mereka dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ}

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka (sembahan-sembahan kami) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat besar kekafirannya” (QS az-Zumar:3).

Allah Ta’ala maha mendengar lagi maha dekat, Dia tidak butuh kepada perantara dari makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ}

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah maha dekat” (QS al-Baqarah:186).

Kita saksikan di jaman sekarang ini kebanyakan kaum muslimin berdoa (meminta/menyeru) kepada wali-wali dalam wujud (penyembahan terhadap) kuburan mereka, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Maka berhala-berhala (di jaman Jahiliyah) adalah wujud dari para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh dan dekat kepada Allah Ta’ala) yang telah wafat menurut pandangan orang-orang musrik (di jaman Jahiliyah), sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang telah wafat menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah (di jaman sekarang), meskipun harus diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan yang ditimbulkan) dari (penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah (penyembahan) berhala !

2- Dulunya orang-orang musyrik (di jaman Jahiliyah) selalu berdoa kepada Allah semata di waktu-waktu sulit dan sempit, kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang. Allah berfirman:

{فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ}

“Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah), (QS al-‘Ankabuut:65).

Maka bagaimana mungkin diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berdoa kepada selain Allah dalam waktu sempit dan lapang (sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak kaum muslimin di jaman ini)?[10].

Contoh-contoh lain perbuatan perbuatan syirik yang banyak tersebar di masyarakat[11]:

1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allah Ta’ala berfirman,

{ قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ}

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS al-An’aam:162-163).

2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan kafir (mendustakan) agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12].

Allah Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut dalam firman-Nya,

{وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS al-Baqarah:102).

Hal ini dikarenakan para dukun, peramal dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allah Ta’ala,

{قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}

“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan” (QS an-Naml:65).

Selain itu, mereka selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek perdukunan dan sihir mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allah Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan qurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’an dengan berbagai macam cara, atau perbuatan-perbuatan kafir lainnya[13]. Allah Ta’ala berfirman,

{وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا}

“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS al-Jin:6).

3- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allah), maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya”[14].

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin beliau ikut memiliki sebagian dari sifat-sifat yang khusus milik Allah Ta’ala, seperti mengetahui ilmu gaib, memberikan manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman,

{قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}

“Katakanlah:Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS al-A’raaf:188).

Di antara bentuk-bentuk pengagungan yang berlebihan dan melampaui batas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

- Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus milik Allah Ta’ala dan tidak ada seorang makhlukpun yang ikut serta memilikinya.

- Melakukan safar (perjalanan) dengan tujuan menziarahi kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil haram, Masjid nabawi dan Masjidil aqsha”[15].

Dan semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam ahli hadits.

Adapun melakukan perjalanan untuk melakukan shalat di Masjid nabawi maka ini adalah perkara yang dianjurkan dalam Islam berdasarkan hadits yang shahih[16].

- Meyakini bahwa keutamaan Masjid nabawi adalah karena adanya kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan keutamaan shalat di Mesjid nabawi sebelum beliau wafat.

4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang shaleh, yang terwujud dalam berbagai bentuk di antaranya:

- Memasukkan kuburan ke dalam mesjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (kerena) mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid (tempat ibadah)”[17].

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh (di antara) mereka sebagai mesjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai kaum muslimin) menjadikan kuburan sebagai mesjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perrbuatan tersebut”[18].

- Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat)nya.

Dalam hadits yang shahih Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya”[19].

Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala dengan orang-orang shaleh tersebut).

5- Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang muslim adalah menggantungkan jimat, yang berupa benang, manik-manik atau benda lainnya, pada leher, tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang kebaikan.

Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh di telah berbuat syirik”[20].

6- Demikian juga perbuatan ath-Thiyarah/at-Tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.

Perbuatan ini juga dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebda beliau, “(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan”[21].

7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barngsiapa yang bersumpah dengan (nama) selain Allah maka sungguh dia telah berbuat syirik”[22].

Nasehat dan Penutup

Demikianlah sedikit dari contoh-contoh perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat, yang ini semua seharusnya menjadikan seorang muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup disekitarnya?

Kalau nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja sampai mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terjerumus dalam perbuatan menyembah kepada selain Allah (syirik), sebagaimana doa yang diucapkannya:

{وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ}

“Jauhkanlah diriku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala” (QS Ibrahim:35)

Padahal beliau ‘alaihis salam adalah nabi mulia yang merupakan panutan dalam kekuatan iman, kekokohan tauhid, serta ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya.

Maka tentunya kita lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri kita, dengan semakin bersunggh-bersungguh berdoa dan meminta perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan dari semua perbuatan tersebut dan sebab-sebab yang membawa kepadanya.

Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu,

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ»

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)”[23].

Juga tentu saja, dengan semakin giat mengusahakan sebab-sebab yang semakin memantapkan akidah tauhid dalam diri kita, yaitu dengan semakin semangat mempelajari ilmu tentang tauhid dan keimanan, serta berusaha semaksimal mungkin mempraktekkan dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel muslim.or.id